Review Film Asih 2 yang akan tayang di Disney – Film Asih 2 menceritakan mengenai Sylvia( Marsha Timothy) serta Razan( Ario Bayu) yang mengadopsi Ana( Anantya Rezky). Sylvia berambisi kedatangan anak terkini itu dapat mengembalikan kehangatan keluarga mereka.
24framespersecond – Terlebih, di film horor terkini ini mereka sudah kehabisan buah hatinya yang tewas. Walaupun suka dengan kedatangan anak itu, banyak peristiwa abnormal mulai timbul di rumahnya.
Sylvia kesimpulannya siuman ia tidak cuma bawa kembali Ana. Film Asih 2 hendak menampilkan makhluk halus wanita yang menjajaki Ana serta sudah jadi bunda membimbing Ana sepanjang 6 tahun.
Review Film Asih 2 yang akan tayang di Disney
Sinopsis:
Narasi Asih 2 bercahaya keluarga pendamping dokter Sylvia serta suaminya yang kreator novel atau narasi berfoto. Sylvia yang kehabisan gadis kecil mereka yang tewas bumi 4 tahun yang kemudian, merasakan emotional attachment pada seseorang wanita kecil misterius yang jadi pasiennya di rumah sakit. Anak itu terbentur mobil di tengah hutan. Tidak terdapat keluarga yang menjemput. Tidak terdapat siapapun yang ketahui siapa orangtua atau dari mana asal sang anak ini. Hingga Sylvia juga membawanya kembali, mengadopsi anak itu. Memberinya julukan Ana. Such a close call, karena Ana nyatanya merupakan anak pendamping pada film Asih awal( 2018). 7 tahun ini, Ana hidup dibesarkan oleh makhluk halus mendekati kuntil- ana- k bernama Asih. Aksi Sylvia mengutip Ana dari pelukan Asih, nyata aksi yang mengundang bencana untuk dirinya serta keluarga.
Jadi, ini merupakan bentrokan antara 2 orang wanita, 2 orang bunda yang mau mencegah buah hatinya. Sylvia yang bertanggungjawab memulihkan Ana, serta Asih yang actually betul- betul menjaga Ana mulai bocah. Menariknya merupakan kalau tidak satupun dari mereka berdua yang bunda kandungan dari Ana. Kalau mereka berdua malah merupakan bunda yang memandang Ana selaku peluang kedua; peluang buat menebus kesalahannya pada anak kandungnya. Kelainannya hanya Sylvia orang, serta Asih makhluk halus. Aksi Asih hendak naturally lebih seram dari aksi Sylvia. Sementara itu inilah sesungguhnya kontras yang menarik yang terdapat pada film. Semacam terdapat pendapat hal arti sesungguhnya dari jadi orangtua untuk seorang. Apa yang membuat kita layak dipanggil‘ bunda’. Pengerukan buah pikiran itu dapat bawa film ke tingkat menggemparkan, ke narasi yang kemanusiaan sekalian menginspirasi serta empowering– spesialnya sebab film ini tayang bersebelahan dengan Hari Bunda.
Tetapi, sutradara Rizal Mantovani tidak memandang ceritanya semacam itu. Film tidak difokuskannya ke situ. Ataupun persisnya, film diarahkannya berjalan melalui pandangan yang sangat konyol serta sangat cetek, buat setelah itu menghasilkan pembahasan pertanyaan bunda mulanya cuma selaku konklusi yang diperlihatkan ujug- ujug di akhir.
Bila Christopher Landon memiliki rancangan membuat deskripsi horor dari lawakan jadul, hingga para filmmaker horor di Indonesia tak ingin takluk. Mereka buat horor dari lagu kanak- kanak zaman dahulu! Mulai dari lagu Boneka Aku, sampai lagu sepolos ngajak orang naik Sepur Api juga telah terdapat film horornya. Gaya yang menarik, tetapi belas pula sih kanak- kanak Indonesia. Lagu buat mereka udah musnah, udah tak terdapat yang buat lagi, eh lagu jadulnya juga diganti jadi modul horor rendahan. Tapinya lagi, memanglah sebagian lagu anak itu serem kenapa. Ilustrasinya betul Indung- Indung yang jadi( un) official soundtrack sekalian alur device dalam Asih 2 ini.
Well, at least, mengerikan buatku durasi kecil.
Durasi kecil, sekitaran baya 6- 7 tahun, saya khawatir amat sangat serupa lagu ini. Kamu tentu mengerti dong melirik lagu Indung- Indung itu terdapat kelanjutannya( tak seperti karakter- karakter dalam film ini yang nyanyiinnya muter- muter di sana saja). Pertanyaan wanita bernama Siti Aisyah yang mandi di kali rambutnya berair. Nah, dahulu durasi kecil kalau di rumah nenek, saya senantiasa ditidursiangkan ortu di kamar Om. Semua tembok kamar itu dicat oleh dia sendiri, digambarin berbagai macam muka. Mulai dari figur animasi Donal Angsa sampai figur zodiak. Salah satu sketsanya itu berbentuk wanita yang menggunakan handuk merah, dengan rambut yang seperti…basah!! Satu kali, cocok lagi dininaboboin pake lagu Indung- Indung, mataku natap sang lukisan wanita itu. Serta saya mimpi kurang baik sang wanita itu hidup, ia lah Siti Aisyah dalam lagu, serta rambutnya berair nyatanya oleh darah sampe ke anduk!!! Semenjak dikala itu saya guncangan serupa lagu Indung- Indung.
Alhasil nonton Asih 2 di kala bioskop hening sedang endemi betul- betul pengalaman menantang buatku. Saya dapat ngerasain keseraman era kecil itu menguar tiap kali lagu itu timbul di film. Serta buatku yang memiliki cerita perorangan, cuma lagu itu sajalah yang jadi titik keakraban dalam film ini. Selebihnya film ini serupa sekali enggak menyeramkan. Figur hantunya, sang Asih; saya justru berempati serta belas padanya. Saya malah rooting for her. Itu sebab memanglah Narasi Asih 2 memiliki kemampuan drama horor buat digali. Film ini dapat jauh lebih baik dari sodara- sodaranya di Danur Universe JIKASAJA pembuatnya enggak obses ke lagu yang hanya serem buat dipake nakutin anak kecil.
Ternyata fokus pada pengerukan drama serta guncangan orangtua yang bergulat dengan kematian anak mereka– melalui ujung penglihatan wanita yang mengadopsi, film justru menitikberatkan pada rahasia asal muasal serta melirik lagu. Segmen mengerikan di Asih 2 beberapa besar berbentuk seorang mengikuti alunan lembut“ Emak emak kepala lindung” serta setelah itu mereka memandang wujud seram somewhere di kerangka balik. Sempat tak ngalamin peristiwa mengikuti satu lagu, kemudian setelah itu lagu itu tiba- tiba timbul di mana- mana; ke mana berangkat, terdapat lagunya. Kurang lebih seperti gitulah film ini; tiba- tiba seluruh figur dalam narasi nyanyiin serta bertemu serupa lagu ini. Film setelah itu lanjut memasalahkan itu lagu apa. Terdapat rahasia yang kuncinya terdapat pada lagu itu. Film memobilisasi seluruh pada lagu ini. Apalagi bonding bunda serta anak dicoba dengan menampilkan Sylvia berlatih nyanyiin lagu itu sebab lagu itu ialah lagu kesukaan Ana. Yang sangat konyol merupakan segmen‘ fight’ Sylvia dengan Asih. Mereka rebutan Ana“ Ini anakku!” pake tarik- tarikan, daaann mereka lalu‘ adu bersenandung’. Gantian nyanyiin Emak Emak untuk menarik atensi serta kasih cinta Ana.
Belas sekali memandang Marsha Timothy serta Ario Bayu yang jadi pendamping suami istri di film ini. Mereka merupakan bintang film yang sempat mendapat piala apresiasi. Bintang film yang ahli, dengan range drama yang besar. Serta narasi film ini actually terbuka buat ruang drama itu. Selaku suami istri yang ingin memiliki anak lagi, move on dari trauma- lah yang seharusnya digali dalam film ini. Buat mereka betul- betul memerlukan Ana. Untuk kita percaya mereka beneran hirau serupa anak selaku individu, bukan selaku pelunas kesalahan. Cuma terdapat satu segmen yang membidik ke ulasan ini, sementara itu deskripsi seharusnya dibentuk di dekat perkara ini. Bukannya justru mementingkan pada‘ lagu mengerikan’. Akhirnya drama serta kepribadian itu tak kena. Kita tak ngerasa apa- apa, kita tak ngerasain urgensi Sylvia wajib dapatin Ana. Ataupun apalagi kita tak pilu kala Ana lenyap dari Sylvia. Sebab film kandas melandaskan kebutuhan Ana dengan cara jelas serta penuh emosi untuk Sylvia serta suaminya. Kita tak memandang mereka‘ cedera’ apapun bila Asih mengutip Ana. Sebab memanglah sang Asih toh did a pretty great job gedein Ana. Anak itu segar, ia apes sebab ditabrak mobil di hutan. Mobil. Di hutan. Come on! itu odd- nya kecil amat sangat hahaha… Serta di luar kebiasannya dikala makan yang abnormal, anak itu toh tak berkembang jadi maniak. Dalam pemikiran kita, film justru semacam menampilkan Sylvia- lah yang menculik Ana dari Asih.
Shareefa Daanish sekali lagi cuma digunakan buat jadi makhluk halus yang teriak- teriak ngejumpscare orang. Sementara itu kemampuan drama serta game kepribadian dapat beliau jalani di mari. Too bad kreator film acuh tak acuh dengan ini. Malah Asih- lah di mari yang sesuai selaku protagonis. Dialah yang kehabisan suatu– walaupun awal mulanya pula jarahan. Dialah yang pada kesimpulannya berbesar batin. Yang membuktikan kalau Asih- lah yang hadapi kemajuan kepribadian– yang actually memiliki alur dalam narasi ini. Narasi apalagi menaruh satu kejutan menarik lagi berbentuk kedatangan seorang dari era kemudian Asih; orang yang memahami Asih dikala sedang seseorang orang. Bila memanglah sedemikian itu, toh kegiatan film amat kurang baik dalam menampilkan Asih selaku figur penting. Sebab jatah sangat besar betul terdapat pada Sylvia serta keluarga. Sylvia, yang tidak ngalamin kemajuan apa- apa. Yang tak terdapat stake. Yang apalagi tidak meyakinkan pada kita ia dapat jadi orangtua yang bagus; sebab yang film perlihatkan cumalah ia yang senantiasa kembali malam cuma dekat dengan Ana dikala mandi serta dikala berlatih lagu.
Serta sang Ana itu sendiri… Memanglah, film horor Indonesia cuma memandang anak kecil selaku subjek. Sehabis lagu mereka didapat jadi modul horor, figur yang menggantikan mereka juga di mari cuma jadi subjek rebutan. Ana dihidupkan selaku trope‘ anak setan’, nama lain anak bertingkah laku abnormal yang senang ngobrol serupa suatu yang tidak nampak. Film ini tidak membagikan Ana peluang buat berbicara, buat memiliki opini serta pemikiran sendiri. Literally, Ana ditulis selaku kepribadian yang tak dapat ucapan. For nomor reasons at all, melainkan betul dengan alibi buat mempermudah pengarang dokumen bermalasan. Ana yang tidak dapat ucapan berarti tidak butuh digali ujung penglihatan serta bagian dramatisnya. Ana cuma dijadikan jalur pergi versi deus ex machina saja. Di akhir seketika ia siuman serta ngasih pemikiran ke ibunya. Kepribadian Ana yang dibuat semacam inilah yang jadi indikator keras alangkah film ini males serta memanglah menjauhi pengerukan kepribadian. Arahannya terbuat spesial buat memudahkan jumpscare- jumpscarean saja. Membuang- buang kemampuan kepribadian yang terdapat.
Kalau terdapat yang nanya film apa yang dapat narik pemirsa ke bioskop, dalam suasana endemi seperti saat ini ini, hingga saya yakin tanggapannya merupakan film horor. Serta film ini, saya pula serupa yakinnya, sanggup buat melaksanakan perihal itu. Sebab memanglah didesain buat memudahkan‘ hiburan’ netijen. Penuh jumpscare, terdapat yang kesurupan, serta flashback backstory. Peningkatannya sedikit di visual kedatangan penampakan, asyik pula memandang makhluk halus yang lama- lama terlihat dari tembus pandang ke memadat. Dengan lama yang lebih jauh tiga- puluh menit dari film pertamanya, kupikir film ini akan lebih bermuatan. Narasi serta kepribadian penyusunnya hendak betul- betul mempunyai suatu. Tidak cetek semacam film awal. Tetapi nyatanya film ini tidak terpikat menggarap seluruh itu. Melainkan cuma berkutat pada menghantu- hantukan lagu. Alhasil kesimpulannya betul jadi serupa saja dangkalnya. Such a waste potential.